w^^ Do U ThinK ??
Review of the Day
Every night, before falling asleep, review the events of the day. Start with the first thing you remember and then continue as if you were watching a movie starring you. Try to remember everything. For instance, you may remember the alarm going off and you turning it off, pulling down the blanket and swinging your legs over the side of the bed to get up. Don't simply rehash how you usually go through your life's routine but rather note each nuance. An example would be if you dropped the bar of soap when you were washing up or heard alarming news over the radio while brushing your teeth. Try to recall how you reacted physically, mentally, and emotionally to every event of the day.
When you first try this technique, you may be amazed at how little you can recall. It may become obvious that you can easily recall highly emotional times like when you had an argument with a co-worker but you may not be able to remember anything about how you got to work.
The more you do this "review of the day," the more you will start paying attention to your life as it takes place and the more you will be able to remember about the events that transpired. We all have a tendency to not pay anything but the most minimal attention to the here and now and instead spend our time rehashing the past and fantasizing about the future. This meditation technique can return our awareness of the present, which is the only time reality takes place, as well as bring an excitement and enthusiasm to our life. Think about a baby who is so amazed and fascinated with the newness of everything that occurs in every moment. We should be experiencing at least that exquisite a response to our moment-to-moment existence because each moment is absolutely unique and intriguing and since we are adults, we can ponder the remarkable way we are reacting to each event we experience physically, mentally, emotionally, and spiritually.
In just a few minutes, we will be able to see every event that took place in the previous sixteen hours. This will occur because at this stage of our consciousness's evolution, our mind will be a tool we can use as reliably, and more easily, than any computer.
Review your day and start to live your life, happily ever after. IaNoe_84
PANDANGAN MORAL TERHADAP PORNOGRAFI
Freday Jr. on 05/26/2007 at 5:21am (UTC)
I. Pendahuluan
Kaum pembela kebebasan mempunyai pegangan yang khas dengan J. S. Mill yang mengatakan bahwa pemerintah berhak menggunakan kekuasaan atas individual yang melawan kemauan mereka yang hanya mengurangi kerugian kepada orang lain. Tahun 1970 kaum liberal beranggapan bahwa baik produsen dan konsumen pornografi tidak merugikan siapapun oleh karena aturan pornografi telah mempertimbangkan bahayanya kepada setiap orang (produsen dan konsumen). Pornografi merupakan gangguan bagi orang-orang yang menentang pornografi atas dasar moril dan agama.
Tahun 1970-an, kaum feminis membicarakan tentang apa yang salah dengan pornografi. Bagi mereka pornografi bukan secara moril mencemarkan produsen-konsumen, menghina, bedosa, akan tetapi jenis literatur khusus yang tidak disenangi dalam mensosialisasi seks. Susan Brownmiller adalah orang pertama yang menerima ini dia menyatakan bahwa “pornografi adalah intisari yang beku dari propaganda para kaum anti-feminis”.
Ada klaim bahwa wanita merasa dirugikan dengan pornografi, bagi sebagian orang, tidak ada perdebatan antara kaum liberal dan pembuat hukum moral yang membuat aturan pronografi yang disahkan oleh negara yang diberi nama “moral offensive”. Yang menjadi perdebatan diantara mereka adalah apa implikasi dari aturan pornografi atau hukum yang telah dibuat. Beberapa teoretikus berpendapat bahwa merendahkan martabat pornografi bukanlah kerugian siapa saja, dengan demikian tidak dapat diatur secara hukum.
Untuk itu penulis tertarik untuk membahas lebih dalam tentang problem pornografi yang merajalela sampai saat ini. Pornografi merupakan masalah yang cukup rumit, sehingga tidak boleh dipandang sepele, karena ponografi menyangkut moral sesorang yang juga terkait dengan pribadi-pribadi yang lain.
II. Apa itu pornografi?
Menurut definisi RUU Antipornografi, "pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu berahi pada orang lain". Namun, definisi ini kurang lengkap. Mengapa? Bukankah sulit menentukan gerakan erotis yang mana yang bisa menimbulkan berahi? Dan apa salahnya erotisme atau berahi seksual? Bukankah berahi itu sehat? Bukankah hanya dengan adanya sensualitas, kita dapat dilahirkan di dunia ini? Bukankah kelahiran kita, keberadaan kita, adalah buah persenggamaan. Lalu mengapa hal ini menjadi begitu menjinjikan?
Pornografi adalah kriminalitas dan penyalah gunaan seks, bukan sex itu sendiri. Beberapa video dan buku-buku porno penuh dengan eksploitasi perempuan. Pemaksaan dan bahkan pemerkosaan terhadap perempuan biasanya dipandang sebagai suatu kenikmatan dalam video-video ataupun buku-buku porno. Bahkan sering digambarkan bahwa perempuan menghendaki paksaan dan pemerkosaan seperti ini. Kesakitan perempuan dalam kebanyakan video ataupun buku porno menjadi kenikmatan lelaki. Namun, ketika pornografi dipermasalahkan, yang dituding adalah sensualitas dan bahkan perempuan itu sendiri. Ada begitu banyak penolakan pada tulisan yang dipertaruhkan tentang pokok persoalan yang mendesak kepentingan kaum wanita karena tidak terpilih atau ketakutan pada ketidakpantasan akademik. Banyak kritik terhadap kemungkinan penghinaan pornografi yang keras menjadi pandangan yang tidak hanya sebagai sopan santun (khususnya kalau kritik adalah wanita), tetapi juga sebagai pencampuran dalam yang lain “pribadi” bisnis, karena kita cenderung memahami kerugian dalam pornografi—kerugian yang sering dilakukan tidak kelihatan dan tak dapat dikatakan dengan perimbangan yang matang.
III. Pornografi dan Kerugian
Pornografi menempatkan diri kita dalam sebuah posisi yang lebih rumit. Dapatkah kita konsekuen memperjuangkan nilai persamaan antara pria dan wanita dalam semua aspek kehidupan bermasyarakat. Barangkali perjuangan kita menentang pornografi masih belum total jika memang terbatas pada masalah sexual appearance. Seluruh kompleks persoalan berkaitan dengan pornografi sebenarnya terletak pada konsep kita tentang wanita. Kita akan menemui banyak kesulitan untuk memberikan gambaran yang memadai tentang kerugian yang membebani para gadis dan perempuan dalam produksi pornografi. Pihak yang paling memiliki kekuatan sebagai bukti dari kerugian itu adalah kesaksian orang-pertama yang “terlibat” dalam industri pornografi.
Orang menjadi “terlibat” dalam dunia pornografi bisa disebabkan oleh sebuah “paksaan”. Misalnya, Evalina Giobbe terperangkap di “dunia hitam” itu karena kehidupannya dan keluarganya menjadi terancam. Giobbe jatuh ke dunia pornografi mulai usia 13 tahun. Dia harus mengalami perlakuan yang tidak baik (kekerasan seksual). Motif umum yang ditawarkan oleh sang mucikari untuk “menarik” para gadis adalah iming-iming akan mempromosikan mereka sebagai model. Giobbe keluar dari industri pornografi secara kebetulan, sesudah “merusak dirinya sendiri dengan heroin” dan menjadi “tidak laku”. Dia memandang dirinya sebagai orang yang beruntung – “sedikit orang yang selamat”.
Dewasa ini, pornografi adalah sebuah kejahatan yang terus meningkat. Selain itu, pornogarfi juga memiliki peraturan yang penting dalam lalu-lintas seks global yang melibatkan para gadis, mereka diiming-imingi dengan janji-janji mendapatkan pekerjaan (misalnya, sebagai pengasuh anak atau pelayan wanita) sampai akhirnya mereka terjebak di negara asing, tanpa memiliki uang, tanpa surat-surat resmi, tidak ada keluarga atau teman-teman dan tidak memiliki kemampuan untuk berbicara dalam bahasa setempat. Arus informasi dari halaman-halaman Web menampilkan sejumlah gadis-gadis muda dari berbagai etnis dalam situasi yang sukar, dibatasi, terhimpit, dan raut wajahnya berubah. Otonomi yang asli memberikan kemampuan untuk mengevaluasi secara kritis dan memilih berdasarkan batasan yang signifikan dan pilihan-pilihan yang berguna. Pornografi juga mempengaruhi pihak lain yang tidak mengijinkan wanita untuk dipertontonkan dan ditindas. Pornografi menampilkan juga tindakan yang merendahkan martabat orang kulit hitam, misalnya menjadi orang yang direndahkan, ditindas, dan dipersulit untuk kesenangan majikannya. Penyebaran “konsumsi” untuk entertaimen ini meluas dan mempengaruhi bagaimana orang kulit putih secara umum memandang dan memperlakukan orang kulit hitam, menjadikan hal ini lebih sukar dibandingkan yang sebaliknya bagi orang-orang kulit hitam untuk mengatasi sikap brutal dan melanjutkan tradisi kebencian serta penindasan.
Kerugian yang dihasilkan oleh pornografi bagi pihak-pihak yang terlibat dalam produksi itu sering disebut “tidak langsung” atau “kerugian yang meluas”, yang membuat mereka kurang terdengar sebagai sesuatu yang nyata dan kurang serius dibandingkan hal yang sesungguhnya meliputi :
1. Kerugian bagi pihak yang memaksakan pornografi kepada mereka
2. Meningkatkan atau mempertegas diskriminasi terhadap berbagai penyimpangan seksual- para gadis dan perempuan.
3. Merugikan anak laki-laki dan orang dewasa yang sikapnya terhadap perempuan dan yang dorongan seksualnya dipengaruhi oleh pornografi.
4. Merugikan pihak-pihak yang menjadi korban dari kekerasan seksual.
Bahwa pertumbuhan pornografi membawa kepada perubahan-perubahan sikap kepada orang laki-laki, yang pada gilirannya, membawa kepada kelakuan yang membahayakan, tidaklah mengherankan, secara khusus kenaikan tingkat yang menyingkapkan pornografi pada anak-anak yang belum berusia 10 tahun dan anak-anak belasan tahun.
Seseorang dapat berpendapat bahwa pornografi hanya sebuah gejala belaka ( dari sebuah aliran yang membenci wanita, komunitas patriarkis), bukan sebagai suatu akibat. Fakta bahwa ada beberapa pembuat undang-undang (legislator) perempuan di AS di tingkat federal (tidak dapat dibayangkan bahwa seorang perempuan bisa terpilih sebagai presiden) adalah sebuah gejala, bukan akibat, dari patriarki. Dalam kasus apa saja, pornografi berarti lebih dari sekedar gejala. Pornografi menumbuhkan perkembangan sensualitas untuk sebuah kesenangan, walau ia tidak menciptakannya.
Fakta yang perlu dicatat sebagai inti (pokok) pornografi (produser-produser) adalah untuk menghasilkan uang dengan memberikan kesenangan tidak berarti bahwa itu tidak bisa menurunkan martabat. Dilain pihak, hal itu mampu menyenangkan (dan menguntungkan) karena memang menurunkan martabat (penghinaan) kepada orang lain. Dan sangat beralasan untuk mengharapkan efek timbal-balik dalam kehidupan masyarakat karena penikmatannya membutuhkan pengadopsian sikap-sikap tersebut. Membandingkan kasus pornografi dengan humor seksi sampai saat ini, masih dipertahankan bahwa perempuan yang diserang oleh gurauan-gurauan seksi benar-benar tidak tertawa kemudian, seseorang menertawakan sebuah gurauan seksi ( karena lucu) dan tidak menjadi orang yang seksi. Sekarang banyak diketahui bahwa gurauan-gurauan tersebut lucu hanya jika seseorang menganut keyakinan tertentu tentang kesaksian, dengan perkatan lain, humor bergantung pada keyakinan. Dengan mengacu pada pemgambaran pornografi akan sulit beragumen bahwa penurunan martabat perempuan hanya bersifat insidental sesuai kemampuannya untuk kebangkitan tersebut tergantung pada seksisme. Saya melihat bahwa pornografi memberikan kesenangan yang pada akhirnya dapat mencemarkan nama baik atau menurunkan martabat perempuan.
Lebih sulit untuk kita melihat proses yang sama dari dehumanisasi dalam pekerjaan ketika para wanita terbiasa digambarkan pantas untuk dihinakan, disiksa dan bahkan mati. Tapi studi empiris telah menunjukkan gambaran tersebut meningkat seperti kemungkinan bahwa orang-orang akan memperhatikan kekerasan seksual kurang serius dan bahkan mengganggap penting untuk disidangkan pada beberapa kasus. Ada hubungan lain antara dehumanisasi perempuan dalam pornografi dan kebrutalan dalam perkosaan, pemukulan, prostitusi yang dipaksa dan pembunuh seksual. Dimana masyarakat perempuan dikorbankan pada tingkat yang membahayakan, ini menunjukkan ketidakhormatan yang tidak berperasaan terhadap korban-korban untuk mendapatkan penggambaran kekerasan seksual yang dibeli dan dijual hanya semata-mata sebagai hiburan.
Easterbrook sepertinya melihat kejahatan pornografi dengan serius, tetapi kemudian ia lanjut membicarakan “ efeknya yang tidak menyenangkan” yang ia anggap hasil dari “intermediasi mental” dia berasumsi bahwa: pidato tidak mempunyai efek (atau dapat sekedar diabaikan) yang bukan dibawah kontrol kesadaran dari penonton, walau assumsi ini dianut tidak hanya oleh kekuatan periklanan yang telah banyak diketahui orang, tetapi juga oleh kerja ilmu syarat yang kognitif, tentang prevalensi, peniruan, ketaksadaran manusia. Walau dapat diargumenkan bahwa: jika mengganggap para produser pornografi bertanggunngjawab sebagian atas kekerasan yang dilakukan beberapa konsumennya, kita lalu harus mengganggap pelaku kekerasan itu tidak bertanggungjawab atau kurang bertanggungjawab dibandingkan harus bertanggungjawab penuh atas kejahatan yang mereka lakukan.
IV. Sensor Moral Pornografi
Kesulitan paling mendasar dari gerakan antipornografi sebenarnya tidak terletak pada representasi pornografis saja. Sama seperti bahasa dapat menciptakan realitas, begitu juga pornografi dapat menciptakan makna performatif tentang apa yang dipikirkan masyarakat. Pornografi memang selalu ironis. Ia memang dikutuk tetapi sebagai representasi, ia malah menunjukkan fakta bahwa masyarakat kita memang berlaku tidak fair ter-hadap perempuan. Inti dari representasi pornografi adalah kekuasaan laki-laki atas perempuan, yang bisa dipa-kai sebagai perangsang dan sekaligus juga obyek seksual lelaki. Ironi ini mendesak kita, masyarakat pendukung antipornografi, untuk dapat menunjukkan nilai-nilai dasar yang secara implisit terdapat dalam perjuangan anti pornografi tersebut. Nilai yang saya maksud adalah kebebasan dan persamaan. Wanita harus dapat dilihat sebagai subjek dan tidak dimanipulasi.
Nilai-nilai ini harus menjadi inti perjuangan kaum moralis-agama dan para anggota pemerintah yang sedang membahas rancangan undang-undang tersebut. Tanpa nilai tersebut pornografi dapat dilihat dalam sexual-language-games yang berbeda. Mengatakan 'tidak' terhadap pornografi dapat tidak berarti menolak pornografi, tetapi akan lebih berarti 'tidak' terhadap penindasan terhadap para wanita yang ingin mencari udara kebebasan dan persamaan. Karena itu tidak salah jika dikatakan bahwa untuk memahami makna gerakan antipornografi, kita harus mendengar apa yang dikatakan perempuan tentang itu. Sensor moral terhadap pornografi berada dalam suara hati kaum wanita, yang selama ini barangkali tertindas.
Mengabaikan suara mereka berarti gerakan antipornografi tidak lebih dari penegasan kembali dominasi laki-laki atas perempuan. Kebudayaan kita barangkali dapat menjadi suatu kebudayaan yang menghargai martabat dan kebaikan wanita jika mereka tidak didengarkan. Suatu usaha penyelamatan norma-norma masyarakat di bawah sensor dan kontrol informasi dalam tangan negara yang berwajah laki-laki barangkali tidak akan menghasilkan sebuah wajah kebudayaan yang menghargai persamaan jender. Begitu juga perubahan ke arah itu tak banyak diharapkan dengan pendekatan yang moralistis. Yang kita butuhkan adalah kesempatan untuk lebih banyak bicara, lebih banyak argumen, dan lebih banyak pendidikan.
V. Hak moral tentang pornografi
Menilai suatu kebebasan berbicara, sungguh menjadi hal penting dan perlu dipertahankan, karena kebebasan berbicara menyangkut hak setiap individu. Oleh sebab itu, kebebasan berbicara harus diprioritaskan dan mendapat perlindungan. Demikian juga dengan hak terhadap pornografi, jika setiap orang tidak memiliki kebebasan berbicara dalam hal pornografi, maka pornografi menjadi legal.
Hak-hak setiap individu harus memiliki jaminan atas hak itu. Dalam hal ini, ada beberapa hak yang didapatkan kembali kepada setiap individu, yakni: pornografi, otonomi, dan kesamaan. Andrew Altman sendiri menghancurkan suatu “moralitas seksual liberal”. Maka di sini, seksualitas sangat penting, pusat yang tak dapat disangkal, dan juga merupakan aspek utama dalam hidup manusia. Demikian juga ekspresi seksual merupakan suatu cara mendefinisikan diri atau gambaran diri yang sesungguhnya, dan suatu relasi antar individu atau orang lain.
Meskipun para filsuf tidak setuju dengan kodrat hak itu sendiri. Namun hak itu sendiri merupakan kodrat, natural, yang tidak dapat dicabut karena merupakan pemberian dari Allah. Hak itu sendiri bersifat positif dan negatif. Maka hak harus ditempatkan pada posisi yang benar dan sesuai, agar hak yang dimiliki oleh setiap individu diakui dan dihormati. Namun menurut moralitas seksual liberalis, orientasi seksual memerlukan lebih dari toleransi belaka.
Kaum feminis dan liberalis membela hak mereka, karena yang disalahkan bukan pelaku pornografi, sebaliknya pornografernya. Altman juga mengatakan bahwa yang dipertahankan bukan saja hak atas hukum yang berlaku, tetapi hak moral pada pornografi. Hak atas hukum tentu sudah menjadi hal yang semestinya (karena berkaitan dengan seseorang yang dirugikan), namun hak atas moral adalah hak yang perlu mendapat perlindungan. Sesuatu yang istimewa mengenai seksual memberikan pandangan tentang moral, terutama terhadap hak itu sendiri. Hak setiap individu terhadap pornografi pasti berlawanan dengan nilai moral. Karena seksual menyangkut persoalan intim, sebaliknya penyimpangan seksual berhadapan dengan moral dan hukum.
VI. Moral Gereja VS Pornografi
Gereja Katolik menganggap bahwa pornografi adalah suatu tindakan yang salah atau yang kita sebut dengan dosa. Pandangan Gereja tentang pornogarafi ini, dapat dilihat di dalam katekismus Gereja yang mengatakan bahwa pornografi adalah tidak pantas untuk dibela. Katekismus Gereja Katolik memberikan tiga alasan mengapa pornografi adalah salah dan dosa.
PERTAMA, pornografi melanggar keutamaan kemurnian. Setiap umat Kristiani dipanggil untuk hidup murni, sebab itu ia wajib menghormati kekudusan seksualitas kemanusiaannya sendiri, yang meliputi integrasi jasmani dan rohani dari keberadaannya. Ia juga wajib menghormati kekudusan perkawinan. Dalam menanggapi pertanyaan kaum Farisi mengenai perceraian, Tuhan kita mengajarkan, “Tidakkah kamu baca, bahwa Ia yang menciptakan manusia sejak semula menjadikan mereka laki-laki dan perempuan? Dan firman-Nya: Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayah dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging. Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu” (Mat 19:4-6). Sebab itu, cinta kasih suami isteri yang mencerminkan ikatan sakramental antara mereka, dan pengucapan janji perkawinan juga sakral. Ungkapan cinta kasih suami isteri haruslah mencerminkan cinta kasih yang setia, permanen, eksklusif, saling memberi diri dan saling menghidupi antara suami dan isteri.
Namun demikian, hormat terhadap perkawinan dan cinta kasih suami isteri tidak hanya terbatas pada ungkapan secara jasmani. Rasa hormat itu juga meliputi dimensi rohani. Yesus mengajarkan, “Kamu telah mendengar firman: Jangan berzinah. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang memandang perempuan serta menginginkannya, sudah berzinah dengan dia di dalam hatinya.” (Mat 5:27-28). Sebab itu patutlah, “kemurnian menjamin sekaligus keutuhan pribadi dan kesempurnaan penyerahan diri” (Katekismus Gereja Katolik, No 2337). Sebaliknya, pornografi merupakan tindak perzinahan batin yang menghantar pada ketidakutuhan rohani orang dan dapat menghantar pada perzinahan fisik atau tindak seksual yang tidak sah lainnya.
KEDUA, pornografi sangat merusak martabat semua mereka yang ikut berperan (para aktor, pedagang dan penonton). Masing-masing dari mereka mengeksploitasi diri atau mengeksploitasi yang lain dengan suatu cara demi kenikmatan atau keuntungan pribadi. Secara keseluruhan, martabat manusia - baik ia yang berpose, ia yang memproduksi, ia yang memperdagangkan, ataupun ia yang menikmatinya - direndahkan.
KETIGA, mereka yang terlibat dalam pornografi membenamkan diri dalam suatu dunia semu, dunia khayalan, lepas dari dunia nyata. Cinta kasih sejati senantiasa menyangkut memberikan diri demi kebaikan yang lain, sedangkan pornografi menarik orang untuk masuk ke dalam suatu dunia semu yang menyesatkan dan egois, yang kemudian dapat dilakukan dalam dunia nyata hingga mencelakakan diri sendiri dan orang lain. Masalah pornografi telah meningkat drastis sejak internet menyajikan hubungan seksual “virtual reality”. Disamping itu, dosa pornografi tidak sekedar menyangkut “suatu tindakan pada suatu saat”, melainkan dapat menjadi semacam kanker rohani yang merusak manusia.
Dr Victor Cline (1996) mengemukakan empat dampak progresif dari pornografi: (1) kecanduan, di mana hasrat untuk menikmati tayangan-tayangan pornografi membuat orang kehilangan penguasaan diri; (2) meningkatnya nafsu liar, di mana orang menjadi kurang puas dengan hubungan seksual yang normal dan masuk ke dalam pornografi yang semakin dan semakin brutal, biasanya guna memperoleh tingkat sensasi dan gairah yang sama; (3) hilangnya kepekaan moral, di mana ia tidak lagi memiliki kepekaan moral terhadap tayangan-tayangan yang tidak wajar, yang tidak sah, yang menjijikkan, yang menyesatkan, yang amoral, melainkan menikmatinya sebagai tayangan yang dapat diterima dan mulai memandang orang lain sebagai obyek; (4) pelampiasan, di mana khayalan diwujudkan dalam tindakan nyata yang jahat.
Jelas dan nyata, pornografi menimbulkan dampak buruk yang merusak segenap masyarakat, teristimewa perempuan dan anak-anak. Pornografi mengajarkan bahwa perempuan menikmati “dipaksa” dan menikmati aktivitas seksual yang brutal; pornografi mendukung pelacuran, mendukung orang mempertontonkan aurat, mendukung voyeurism (perilaku di mana orang mendapatkan kenikmatan dengan melihat secara tersembunyi orang lain menanggalkan busana atau melakukan hubungan seksual), dan menganggap semua itu sebagai perilaku yang wajar; pornografi menganggap perempuan sebagai obyek seks belaka yang dipakai guna mendatangkan kenikmatan diri. Pada sebagian pria, secara rutin menikmati tayangan pornografi membuat mereka menganggap normal serangan terhadap perempuan dalam hal seksual maupun dalam interaksi lainnya; pornografi meningkatkan toleransi atas serangan yang demikian terhadap perempuan dalam budaya yang lebih luas (Surrette, 1992). Yang sangat menyedihkan, dampak terburuk pornografi mungkin terjadi atas diri anak-anak, khususnya anak-anak lelaki berusia antara 12 hingga 17 tahun, oleh sebab pornografi menggambarkan aktivitas seksual di luar pernikahan sebagai hal yang wajar dan dapat diterima, tanpa menghiraukan ancaman AIDS atau penyakit-penyakit kelamin lainnya yang mengerikan, dan tanpa menghiraukan beban tanggung jawab terhadap kemungkinan hadirnya kehidupan manusia baru.
Sementara sebagian orang berusaha membenarkan penggunaan pornografi demi meningkatkan keintiman dalam hidup perkawinan mereka, sebagian besar dari orang-orang ini lebih mengkhayalkan aktor-aktor dan adegan-adegan dalam tayangan-tayangan pornografi tersebut daripada pasangan mereka. Keadaan yang demikian memerosotkan kesakralan cinta kasih suami isteri menjadi suatu tindak perzinahan - yang satu mempergunakan tubuh yang lain sebagai sumber kenikmatan seksual sementara “bersetubuh” dengan suatu figur khayalan. Dr Cline melaporkan, “Pasangan mereka hampir selalu mengeluh merasa dikhianati, dilecehkan, ditipu, diacuhkan, dianiaya dan tak mampu bersaing dengan khayalan.” Tak heran Asosiasi Psikiater Amerika mendapati bahwa 20% dari pecandu pornografi bercerai atau berpisah karena kecanduan mereka.
Sebagai umat Kristiani, haruslah manusia waspada terhadap pornografi, bukan hanya menghindari penggunaannya saja, melainkan juga menolak gambar, bayangan atau pemikiran apapun yang muncul secara tak sengaja, seperti misalnya ketika secara kebetulan menyaksikannya saat menonton film. Haruslah kita bertindak amat bijaksana dalam memilah-milah apa yang hendak kita saksikan ataupun apa yang hendak kita dengarkan. Kita patut menentang segala sumber pornografi yang mencemarkan serta merendahkan masyarakat. Di samping itu, dalam doa-doa, patutlah kita semua mohon keutamaan kemurnian, mohon pada Tuhan rahmat agar senantiasa murni dan menghormati martabat setiap pribadi, teristimewa dari kalangan lawan jenis. Apabila manusia itu jatuh, dan dengan sengaja ikut ambil bagian dalam suatu bentuk pornografi atau menerima suatu gambar, bayangan atau pemikiran pornografi yang tidak dengan sengaja dicari dan kita terima, hendaklah manusia patut bertobat, mengaku dosa dan menerima absolusi. Dalam Katekismus Gereja Katolik mengajarkan bahwa pornografi merupakan “satu pelanggaran berat,” artinya secara obyektif merupakan dosa berat. Jangan pernah manusia menganggap remeh dosa ini dan membiarkannya berakar dalam hidupnya.
VII. Penutup
Demikian pornografi dipandang sebagai sesuatu yang dapat merusak masyarakat, terlebih-lebih terhadap nilai moral setiap individu. Sekarang tinggal kita sebagai manusia, apakah kita mau menolak segala sesuatu yang merusak diri kita sendiri yaitu semua yang berbau pornografi ? Ataukah kita malah menerima pornografi sebagai sesuatu yang wajar dan patut diterima ?
Sekian analisis saya atas pornografi, semoga paper singkat ini dapat berkenan di hati saudara pembaca. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr. Bernhard Kieser SJ, Moral Dasar, Jakarta: Kanisius,1987
2. Susan J.Brison, Harm of Pornografi, New York.
3. SUARA PEMBARUAN DAILY, 13/2/06
4. Dr. Laurentius Tarpin, Diktat Perkuliahan Moral Dasar, Bandung: Unpar
5. http://www.indocell.net/yesaya/id892.htm
REKONSILIASI
AB Susanto on 04/11/2007 at 2:47am (UTC)
GEGAP gempita pemilihan para petinggi wakil rakyat kali ini agak berbeda karena disertai kekhawatiran munculnya "pertarungan" eksekutif-legislatif seperti terjadi di era Abdurrahman Wahid alias Gus Dur. Dari "pertarungan" itu, yang kena getahnya adalah bangsa. Rakyat yang amat berharap mekanisme demokrasi akan melahirkan situasi yang lebih baik harus menelan lagi pil pahit.
Perbedaan "penguasa" di lembaga legislatif dan eksekutif sebenarnya hal wajar dalam demokrasi. Bukankah ini merupakan penerapan Trias Politika yang menjadi esensi negara demokrasi? Bahkan, dengan situasi ini, sebenarnya justru mekanisme check and balances dapat berjalan efektif. Masalah yang dikhawatirkan banyak pihak apakah budaya politik kita sudah siap, dan mekanisme "penyeimbang" tidak akan menjadi mekanisme "pengganjalan" atau bahkan "penjegalan". Pesta demokrasi yang sukses saja belum memadai untuk membentuk pemerintahan demokrasi yang efektif. Sportivitas, termasuk sikap menerima kekalahan, merupakan prasyarat agar demokrasi berjalan efektif. Kekhawatiran ini pula yang mengeluarkan wacana rekonsiliasi, yang menyembul saat kampanye pemilihan presiden berlangsung. Tujuannya menepis kekhawatiran ini dan berharap pemerintahan berjalan efektif.
Rekonsiliasi mungkin mengandung banyak makna. Jika yang dimaksud seperti itu, bisa dikatakan sebagai rekonsiliasi pragmatis. Dalam arti rekonsiliasi ini tidak terlalu dalam merunut akar historis mereka yang berseteru.
Barangkali perseteruan ini hanya bersumber pada conflict of interest. Kita tidak perlu menengok ke belakang terlalu jauh dan hanya bertumpu pada menang kalah. Orientasinya pun hanya bersifat jangka pendek, dan jika mau jujur lebih merupakan persoalan di lingkungan elite, sehingga penyelesaian yang melandasi rekonsiliasi lebih menekankan bagaimana agar pesta demokrasi yang baru saja berlangsung tidak menjadi zero sum conflict, di mana winner takes all.
Sebenarnya, makna rekonsiliasi yang lebih umum acap bersifat historis, yang memasuki lorong waktu jauh ke belakang. Dan ini tidak bersifat temporer, tetapi relatif lebih permanen karena sumber konfliknya berasal dari perbedaan nilai. Jika pendekatan historis ini dipakai sebagai sarana untuk menganalisis, harus merunut akar persoalannya dalam kurun waktu lama. Mungkin bagi kita bangsa Indonesia akan mengaduk-aduk kesadaran sejak peristiwa 1965, Tanjung Priok, Lampung, DOM Aceh, Timor Timur, sampai kasus Trisakti. Pendekatan ini tentu memerlukan energi besar, waktu lama, dan perhatian amat serius. Selain itu, upaya ini akan melelahkan sekaligus menyakitkan. Upaya inilah yang sebenarnya dulu ingin dilakukan Gus Dur.
Namun, dalam alam Indonesia Baru yang diwarnai demokrasi, rekonsiliasi menjadi menu wajib. Kasus-kasus konflik horizontal, seperti Ambon, Sambas, dan Poso, harus diselesaikan tuntas. Karena konsekuensi dari demokrasi adalah ditinggalkan cara-cara represif. Pada masa lalu cara-cara ini efektif dalam memadamkan api konflik meski masih meninggalkan bara dalam sekam. Ketika represi ditiadakan, bara konflik meletup menjadi tindak kekerasan.
Manajemen rekonsiliasi
Dalam kebinekaan bangsa, konflik horizontal mempunyai potensi besar untuk merobek kedamaian dan mengoyak stabilitas. Konflik ini diwarnai dominannya faktor kesukuan, agama, atau keduanya sekaligus yang muncul sebagai pembentuk identitas personal masing-masing pihak yang berkonflik. Konsekuensinya perasaan in group dan out group menguat, disertai asumsi dalam menyikapi suatu masalah yang melibatkan kedua pihak: anggota kelompok harus dibela karena jika mengalami masalah, ia juga akan dibela kelompoknya. Ketidaksalingpercayaan juga muncul dalam komunitas, memperkuat diskriminasi rasial dan prasangka (prejudice). Konflik ini kian parah jika ternyata ada perbedaan tingkat kesejahteraan pada tiap kelompok. Perbedaan tingkat kesejahteraan sering menjadi justifikasi prasangka dan perilaku diskriminatif.
Dalam memanajemen rekonsiliasi perlu dilakukan langkah- langkah sistematis yang dituangkan dalam aneka program. Manajemen rekonsiliasi harus didahului analisis dengan melakukan diagnosis terhadap konflik yang terjadi. Akar-akar konflik harus diidentifikasi jelas. Konflik yang terjadi mungkin berasal dari aneka peristiwa yang terjadi sekian tahun bahkan puluhan tahun lalu. Akar konflik ini perlu ditelusuri mendalam guna mengetahui latar belakang dan sejarah konflik sebagai bagian untuk mencari solusinya. Dalam menganalisis konflik harus dilakukan dengan cermat karena tahap ini merupakan landasan bagi penyusunan strategi dalam melakukan langkah-langkah rekonsiliasi yang amat menentukan keberhasilannya.
Langkah berikut adalah melakukan intervensi langsung yang bertujuan melakukan mediasi terhadap konflik yang mengakar dalam komunitas. Keberhasilan intervensi ini amat bergantung pada ketajaman dalam menganalisis latar belakang konflik, pemahaman terhadap struktur komunitas, serta identifikasi faktor-faktor kultural yang menunjang maupun yang menghambat proses mediasi. Persepsi masing-masing pihak atas masalah yang dihadapi dan terhadap pihak lain harus dipahami dengan baik.
Intervensi pihak ketiga yang berfungsi untuk memfasilitasi komunikasi dalam kerangka penyelesaian konflik harus memelihara citra sebagai pihak yang netral dan nonpartisan. Citra ini amat penting karena kedua pihak sedang dipenuhi rasa saling curiga amat tinggi. Sekali citra memihak muncul dari salah satu pihak, fungsi mediasi tidak akan efektif lagi. Peran mediator adalah sebagai pihak ketiga yang dipandang netral, dengan tujuan utama menemukan solusi menang-menang yang mengakomodasi kepentingan kedua pihak. Mediator tidak diperkenankan untuk menyatakan siapa yang salah dan siapa yang benar karena sebenarnya tugas mediator adalah "tugas untuk menghadapi masa depan", bukan "menjadi wasit" atas kesalahan masing- masing pihak dengan mengorek masa silam.
Selanjutnya diperlukan upaya pemberdayaan dalam menangani konflik secara konstruktif. Pemberdayaan ini diawali dengan pemberian bekal berupa keterampilan dalam melakukan mediasi bagi para sukarelawan yang mempunyai posisi netral. Anggota komunitas dibekali keterampilan dalam menyelesaikan konflik secara damai. Selanjutnya juga harus dilakukan supervisi untuk membantu penerapan keterampilan resolusi konflik.
Pelembagaan penting untuk dilakukan karena rekonsiliasi merupakan proses. Seperti proses munculnya konflik yang acap berlangsung lama, rekonsiliasi juga merupakan proses yang kelangsungannya harus dijaga. Pelembagaan ini bertujuan membantu hadirnya struktur organisasi yang mempromosikan dan menangani resolusi konflik secara efektif dalam komunitas lokal. Pelembagaan ini juga berfungsi agar program ini bergulir luas, yang akan membantu pengembangan kapasitas (capacity building).
Pemantauan dan evaluasi berkelanjutan harus dilakukan. Selain memantau kemajuan program, fungsinya juga untuk mengidentifikasi riak-riak konflik yang mungkin muncul dan berpotensi merusak langkah rekonsiliasi yang dilakukan.
Manajemen rekonsiliasi ini sebaiknya menjadi program yang bersifat permanen dalam agenda pemerintah mendatang meski tidak selalu harus ditangani langsung oleh perangkat pemerintah. Di wilayah yang masih mempunyai potensi konflik yang penyelesaiannya belum tuntas, seperti di Ambon, Sambas, atau Poso, perlu dilembagakan mekanisme rekonsiliasi. Inilah tugas pemerintah yang kian jauh melangkah dalam alam demokrasi: stabil, damai, tetapi tidak represif.(IaNOe)